Salah satu ulama yang berjasa dalam dunia pendidikan di Banten bahkan Indonesia adalah KH Mas Abdurrahman bin KH Mas Jamal. Kiai kelahiran tahun 1882 di Kampung Janaka (Gunung Aseupan), Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang dan wafat 1943. (Muhammad Idjen, penulis buku berjudul KH Mas Abdurrahman Ulama Besar Kharismatik Dari Tutugan Gunung Aseupan). Tetapi ada juga sumber yang menyebutkan bahwa KH Mas Abdurrahman lahir sekitar tahun 1875 dan wafat 16 Agustus 1944 dan dimakamkan di Cikaliung Sodong, Kecamatan Saketi, Pandeglang atau sekitar Lokasi Universitas Mathlaul Anwar atau MA. (M Nahid Abdurahman, penulis buku berjudul KH Abdurrahman Pendiri Mathlaul Anwar). Sementara menurut buku berjudul Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khittah MA yang diterbitkan Pengurus Besar Mathlaul Anwar disebutkan bahwa KH Mas Aburrahman lahir tahun 1868 dan wafat tahun 1943.
Salah satu peninggalan KH Mas Abdurrahman adalah perguruan pendidikan Islam Mathlaul Anwar (MA) yang terletak di Menes, Pandeglang, Banten. Hingga kini perguruan MA masih berdiri kokoh dan sudah menyebar ke penjuru nusantara. Kini MA mendirikan lembaga pendidikan mulai TK hingga perguruan tinggi.
Untuk mencari tahu siapa sebenarnya pendiri MA KH MAs Abdurrahman, Radar Banten mencoba menghubungi sejumlah kerabat atau keluarga dekat. Radar Banten bertemu dengan Zaenal Abidin Sujai (salah seorang keluarga KH Mas Abdurrahman), kemudian Ijah Khodijah dan suaminya Jihadudin (cucu KH Mas Abdurrahman). Meski tak banyak bercerita banyak namun Radar Banten mendapatkan sejumlah keterangan baik yang berasal dari pengetahuan mereka atau berdasarkan buku yang ada.
Berdasarkan keterangan Zaenal Abidin dan Jahidudin, MA merupakan lembaga pendidikan klasikal pertama di Banten yang didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di Menes, Pandeglang, Banten, dengan dasar Islam. Sementara tujuan didirikan MA adalah terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di kalangan umat dan masyarakat Islam.
“Beliau merupakan tokoh yang kreatif dalam bidang tulis menulis, karena dari pemikiran beliau dihasilkan beberapa buku yang menjadi referensi para ilmuan, seperti tajwid, jurumiyah, shorof, syafinatunnajah, dan lain-lain. Yang jelas beliau pelopor pendidikan dengan sistem klasik,” kata Zaenal.
Dijelaskan, sebelum adanya MA dengan sistem pendidikan klasik, dunia pendidikan di Menes (Banten) sangat kurang bagus karena masih zaman penjajahan. Bahkan sistem yang digunakan adalah sorogan, yakni seorang siswa (santri) mengaji langsung tatap muka dengan guru atau kiai sambil membawa kitab atau mata pelajaran.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun Radar Banten, ayah dari KH Mas Abdurahman adalah KH Mas Jamal, sosok orang tua yang memiliki keinginan tinggi agar anaknya menjadi seorang ulama dan pendidik untuk memajukan umat. Karena pada saat itu kondisi bangsa sedang kacau karena masih dijajah.
Keluarga KH Mas Jamal berasal dari kalangan yang taat ibadah dan menyebarkan ajaran agama Islam, sehingga hidupnya selalu melakukan hal-hal yang baik. Untuk menularkan keilmuan yang dimiliki, KH Mas Jamal menekankan pentingnya ajaran agama bahkan mengajar mengaji kepada anaknya KH Mas Abdurrahman.
Saat itu, KH Mas Abdurrahman selalu ikut mengaji bersama ayahnya meski harus naik gunung, bahkan ia selalu digendong karena tidak kuat naik gunung. Di sana KH Abdurrahman kecil belajar mengaji kepada seorang guru bernama KH Sahib.
Sekira KH Mas Abdurrahman masih berusia di bawah sepuluh tahun, ayahnya KH Mas Jamal pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Namun KH Mas Jamal tidak kembali ke tanah air karena meninggal di Mekah. Kemudian dikuburkan di sana.
Meski sedang dirundung duka, namun KH Mas Abdurrahman kecil selalu berdoa agar bisa pergi ke tanah suci yang tujuannya untuk ibadah haji, menuntut ilmu, dan melihat kuburan ayahnya. Namun, sayang ia tak mempunyai dana untuk pergi ke Tanah Suci Mekkah.
Tetapi kehendak Allah lain karena faktanya KH Mas Abdurrahman pergi juga ke Mekkah. Namun, tidak disebutkan secara rinci bagaimana proses KH Mas Abdurrahman berangkat ke Mekkah.
Setibanya di Mekah, KH Mas Abdurrahman berguru kepada KH Nawawi Al Bantany kelahiran Tanara, Serang dan KH Achmad Chatib Alminangkabau, yang sudah lama bermukim di sana. Selama sepuluh tahun KH Mas Abdurrahman mengisi hidupnya di Masjid Haram menimba ilmu.
Ketika ditinggal KH Mas Abdurrahman, kondisi di Menes dan sekitarnya sangat memprihatinkan karena berbagai kemaksiatan merajalela, seperti judi, pencurian, pertengkaran, pacaran, dan lain-lain. Bahkan setiap ada acara sunatan atau hajatan selalu diselenggarakan hiburan yang mengundang mabuk-mabukan dan pacaran.
Dengan kondisi ini membuat prihatin seorang ulama bernama KH Soleh yang memiliki pesantren, tetapi kondisi tersebut tidak bisa ditangani. Bahkan KH Soleh pernah dicaci maki oleh masyarakat setempat. Kemudian KH Soleh berpikir untuk menenangkan dan menyebarkan ajaran agama. Maka bertemulah KH Soleh dengan KH Jasin.
“KH Soleh dan KH Jasin kemudian berembuk untuk memulangkan KH Mas Abdurahman dari Mekkah, karena sosok KH Mas Abdurrahman sangat cocok dan mampu mengatasi kondisi yang terjadi di Menes. Akhirnya dipulangkanlah KH Mas Abdurrahman ke Menes,” terang Zaenal Abidin Sujai.
Setelah itu, KH Mas Abdurrahman berdakwah dan mendirikan pesantren (madrasah) di Menes. Tetapi beliau berpikir bahwa pendidikan itu harus diajarkan secara terarah dan memiliki kurikulum yang jelas. Maka pada tahun 1916 M didirikanlah sebuah lembaga pendidikan Islam Mathlaul Anwar (MA) yang artinya ‘terbitnya cahaya’ sebagai Direktur ditunjuk KH Mas Abdurrahman dan Presiden KH Jasin.
Salah satu peninggalan KH Mas Abdurrahman adalah perguruan pendidikan Islam Mathlaul Anwar (MA) yang terletak di Menes, Pandeglang, Banten. Hingga kini perguruan MA masih berdiri kokoh dan sudah menyebar ke penjuru nusantara. Kini MA mendirikan lembaga pendidikan mulai TK hingga perguruan tinggi.
Untuk mencari tahu siapa sebenarnya pendiri MA KH MAs Abdurrahman, Radar Banten mencoba menghubungi sejumlah kerabat atau keluarga dekat. Radar Banten bertemu dengan Zaenal Abidin Sujai (salah seorang keluarga KH Mas Abdurrahman), kemudian Ijah Khodijah dan suaminya Jihadudin (cucu KH Mas Abdurrahman). Meski tak banyak bercerita banyak namun Radar Banten mendapatkan sejumlah keterangan baik yang berasal dari pengetahuan mereka atau berdasarkan buku yang ada.
Berdasarkan keterangan Zaenal Abidin dan Jahidudin, MA merupakan lembaga pendidikan klasikal pertama di Banten yang didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di Menes, Pandeglang, Banten, dengan dasar Islam. Sementara tujuan didirikan MA adalah terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di kalangan umat dan masyarakat Islam.
“Beliau merupakan tokoh yang kreatif dalam bidang tulis menulis, karena dari pemikiran beliau dihasilkan beberapa buku yang menjadi referensi para ilmuan, seperti tajwid, jurumiyah, shorof, syafinatunnajah, dan lain-lain. Yang jelas beliau pelopor pendidikan dengan sistem klasik,” kata Zaenal.
Dijelaskan, sebelum adanya MA dengan sistem pendidikan klasik, dunia pendidikan di Menes (Banten) sangat kurang bagus karena masih zaman penjajahan. Bahkan sistem yang digunakan adalah sorogan, yakni seorang siswa (santri) mengaji langsung tatap muka dengan guru atau kiai sambil membawa kitab atau mata pelajaran.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun Radar Banten, ayah dari KH Mas Abdurahman adalah KH Mas Jamal, sosok orang tua yang memiliki keinginan tinggi agar anaknya menjadi seorang ulama dan pendidik untuk memajukan umat. Karena pada saat itu kondisi bangsa sedang kacau karena masih dijajah.
Keluarga KH Mas Jamal berasal dari kalangan yang taat ibadah dan menyebarkan ajaran agama Islam, sehingga hidupnya selalu melakukan hal-hal yang baik. Untuk menularkan keilmuan yang dimiliki, KH Mas Jamal menekankan pentingnya ajaran agama bahkan mengajar mengaji kepada anaknya KH Mas Abdurrahman.
Saat itu, KH Mas Abdurrahman selalu ikut mengaji bersama ayahnya meski harus naik gunung, bahkan ia selalu digendong karena tidak kuat naik gunung. Di sana KH Abdurrahman kecil belajar mengaji kepada seorang guru bernama KH Sahib.
Sekira KH Mas Abdurrahman masih berusia di bawah sepuluh tahun, ayahnya KH Mas Jamal pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Namun KH Mas Jamal tidak kembali ke tanah air karena meninggal di Mekah. Kemudian dikuburkan di sana.
Meski sedang dirundung duka, namun KH Mas Abdurrahman kecil selalu berdoa agar bisa pergi ke tanah suci yang tujuannya untuk ibadah haji, menuntut ilmu, dan melihat kuburan ayahnya. Namun, sayang ia tak mempunyai dana untuk pergi ke Tanah Suci Mekkah.
Tetapi kehendak Allah lain karena faktanya KH Mas Abdurrahman pergi juga ke Mekkah. Namun, tidak disebutkan secara rinci bagaimana proses KH Mas Abdurrahman berangkat ke Mekkah.
Setibanya di Mekah, KH Mas Abdurrahman berguru kepada KH Nawawi Al Bantany kelahiran Tanara, Serang dan KH Achmad Chatib Alminangkabau, yang sudah lama bermukim di sana. Selama sepuluh tahun KH Mas Abdurrahman mengisi hidupnya di Masjid Haram menimba ilmu.
Ketika ditinggal KH Mas Abdurrahman, kondisi di Menes dan sekitarnya sangat memprihatinkan karena berbagai kemaksiatan merajalela, seperti judi, pencurian, pertengkaran, pacaran, dan lain-lain. Bahkan setiap ada acara sunatan atau hajatan selalu diselenggarakan hiburan yang mengundang mabuk-mabukan dan pacaran.
Dengan kondisi ini membuat prihatin seorang ulama bernama KH Soleh yang memiliki pesantren, tetapi kondisi tersebut tidak bisa ditangani. Bahkan KH Soleh pernah dicaci maki oleh masyarakat setempat. Kemudian KH Soleh berpikir untuk menenangkan dan menyebarkan ajaran agama. Maka bertemulah KH Soleh dengan KH Jasin.
“KH Soleh dan KH Jasin kemudian berembuk untuk memulangkan KH Mas Abdurahman dari Mekkah, karena sosok KH Mas Abdurrahman sangat cocok dan mampu mengatasi kondisi yang terjadi di Menes. Akhirnya dipulangkanlah KH Mas Abdurrahman ke Menes,” terang Zaenal Abidin Sujai.
Setelah itu, KH Mas Abdurrahman berdakwah dan mendirikan pesantren (madrasah) di Menes. Tetapi beliau berpikir bahwa pendidikan itu harus diajarkan secara terarah dan memiliki kurikulum yang jelas. Maka pada tahun 1916 M didirikanlah sebuah lembaga pendidikan Islam Mathlaul Anwar (MA) yang artinya ‘terbitnya cahaya’ sebagai Direktur ditunjuk KH Mas Abdurrahman dan Presiden KH Jasin.
0 orang yang berkomentar:
Posting Komentar